Jumat, 09 Januari 2015

PERBEDAAN HOOLIGAN DAN ULTRAS



HOOLIGAN

HOOLIGAN memiliki arti yaitu fans bola yang brutal ketika tim bolanya kalah bertanding. HOOLIGAN merupakan stereotip sepakbola dari INGGRIS. Tapi kemudian menjadi fenomena global. Sebagian besar dari HOOLIGAN adalah para backpacker yang telah berpengalaman dalam bepergian. Mereka sering menonton pertandingan yang beresiko besar. Banyak dari mereka sering keluar-masuk penjara karena sering terlibat bentrok fisik. Untuk mengantisipasi adanya kerusuhan, gaya berpakaian mereka pun sudah dipersiapkan untuk berkelahi. Mereka jarang menggunakan pakaian yang sama dengan tim mereka dan memilih pakaian asal-asalan agar tak dideteksi oleh polisi. Meski demikian, mereka tidak menggunakan senjata. Para HOOLIGAN biasanya tidak duduk dalam satu tempat bersama-sama dalam stadion, tapi mereka berpencar-pencar.




ULTRAS

 ULTRAS diambil dari bahasa latin yang berarti "diluar kebiasaan". Kalangan ULTRAS tidak pernah berhenti menyayikan yel-yel tim favoritnya selama pertandingan berlangsung. Mereka bahkan rela berdiri sepanjang pertandingan dan menyalakan gas warna-warni (flare) untuk mencari perhatian. Gerakan-gerakan seperti mexican move (ombak) yang kadang mereka lakukan adalah hasil instruksi dari ultras yang sangat kreatif kepada penonton yang lain. Karakter ULTRAS sangat tempramental, tidak jauh beda dengan HOOLIGAN, jika timnya kalah bertanding dan diremehkan. Namun, berbeda dengan HOOLIGAN, tujuan mereka adalah mendukung tim, bukan untuk unjuk kekuatan lewat fisik. Anggota ultras adalah mereka yang loyal dan setia tim favoritnya cukup lama.


  • Dari penjelasan diatas bahwa banyak perbedaan ternyata antara ultras dengan hooligans, diantaranya tentang posisi tempat duduk, dukungan ke tim kesayangan dan tujuan dari mereka sendiri.

ANTI - MEDIA




Anti media, hmm.. Apa sih sebenernya yang dimaksud Anti Media? Apa kita Anti terhadap surat kabar, Berita Tv, bahkan sampe membenci TV nya gitu? Apa Kita harus anti juga terhadap media lain seperti Handphone, kamera, komputer, sampai Internet? Begitu? Aku rasa gak semuanya Benar (begitu)..
Terus apa dong Anti Media? Anti Media itu berarti anti terhadap media (seperti Surat Kabar, Berita TV dll) yang hanya membicarakan kejelekan atau menampilkan berita negative tentang suatu kehidupan. Ini berawal dari kehidupan punk, Skinhead, dan gerakan bawah tanah lain yang selalu mendapatkan berita negative-nya saja tentang aktifitas mereka di media-media itu.
Mereka lalu membuat slogan itu, “Anti Media”. Lalu mereka membuat media sendiri (media Tandingan) yang beda dan menampilkan sisi positive mereka untuk orang umum ketahui bahwa mereka tak seburuk yang orang baca dari Media Umum.. Ini bentuk protes mereka terhadap media-media yang ada..
Di Dunia supporter (Indonesia khususnya) slogan ini mulai diterapkan dan disebut-sebut.. tapi sayang masih banyak yang mengira Anti Media itu anti terhadap semua media, Bahkan seperti Dokumentasi video, Foto, dan penyampaian pesan lainnya..
Dengan alasan Narsis lah, inilah, itulah, dan ribuan alasan lainnya yang kalo dibaca tuh bikin AARRGGGHHH Banget! Hahaha.. Padahal bukan itu yang dimaksud Anti-Media.. Dokumentasi, Publikasi itu juga perlu, agar dunia luar tau sebenernya gerakan kita.. begitu aja sih..
So.. Resapi tiap Slogan, bukan hanya mengartikannya.. Ketahui akarnya, jangan hanya permukaannya saja.. IQRO! Hehe

HARI KETIKA SEMUA ULTRAS BERSATU

 
 
Minggu, 11 November 2007. Terjadi beberapa kerusuhan di Kota Roma.antara pendukung Lazio dan ultras Juventus. Di sebuah SPBU di Badia al Pino di Arezzo polisi berusaha membubarkan sebuah bentrokan. Gabriele Sandri, seorang DJ yang pendukung Lazio berada di tempat dan waktu yang salah, duduk di dalam mobilnya di sekitar tempat itu. Sebuah peluru yang dilepaskan seorang personel polisi kota Roma bernama Luigi Spaccarotella menembus leher Sandri. Sandri menghembuskan nafas terakhirnya.

Kerusuhan merebak di seantero Italia, ultras dari semua klub di Italia memprotes brutalisme polisi tersebut. Mereka, saat itu, tidak lagi mengidentifikasikan diri mereka dengan klub yang didukungnya, tetapi mereka sebagai keluarga besar ultras merasa terzalimi.

Pemakaman Sandri diadakan Rabu, 14 November 2007, diawali misa di gereja setempat. Ribuan ultras dari berbagai klub di Italia, hari itu datang memberikan penghormatan terakhirnya kepada Sandri. Ultras dari semua klub di Italia berbaur, melupakan sementara semua rivalitas. Di hari Rabu itu semua ultra Italia bersatu.

Di bawah ini adalah sebuah catatan harian seorang remaja pendukung AS Roma, klub sekota dan rival abadi Lazio, yang menuliskan pengalamannya menghadiri upacara penghormatan bagi Sandri:


“Pemakaman Gabriele Sandri akan dilakukan hari ini di gereja paroki tempat dia menerima Sakramen Pemandian, beberapa tahun yang lalu. Gereja ini terletak di Piazza Baldunia, tak jauh dari rumah dan toko keluarganya, yang dikelola Sandri. Saya memutuskan untuk menghadirinya. Sebagian untuk menunjukkan rasa hormat saya padanya, sebagian lagi karena kejadian ini membuat saya marah. Sisanya karena rasa keinginan tahu saya.”

“Saya naik bus nomor 913 dari halte Metro di Lepanto. Seorang pria berusia empatpuluhan dan membawa payung yang terlipat naik ke bus sebelum saya, sambil mengamati peta kecil yang kelihatannya dicetak dari internet. Saya mengintip dari balik bahunya, ternyata peta itu menunjukkan rute ke arah gereja. Saya sendiri tidak membawa peta, walaupun saya belum pernah bepergian ke bagian barat daya kota Roma, karena mengira cukup mudah untuk menemukan lokasinya.”

“Bus sangat penuh. Sekitar setengah lusinan remaja dengan topi dan syal AS Roma tertawa riang dan bercanda di bagian belakang bus. Dua gadis mungil berambut pirang berusia sekitar 20 tahun berdiri dalam keheningan. Mereka mengenakan jaket hitam dengan logo birulangit dan putih Lazio serta emblem bendera Italia di lengannya. Kata “Irriducibili” tercetak di bagian depan. Di setiap halte makin banyak orang dengan syal Lazio naik dan membuat bus makin penuh saja. Seorang pria paruh baya bertanya kepada mereka, apakah mereka kenal dengan Gabriele Sandri. Mereka menjawab tidak, tetapi mereka tahu nama pembunuhnya. Pria itu hanya mengatakan bahwa keadaan akan tetap sama saja. Seorang perempuan berusia tigapuluhan bercelana ketat meneruskan bahwa kejadian ini menunjukkan bahwa kita tidak akan pernah bisa memercayai polisi.”

“Kami turun dari bus dan berjalan ke arah taman di depan gereja. Gerimis mulai turun. Waktu menunjukkan pukul 11.40 dan taman penuh sesak dipadati orang. Beberapa orang membentuk pagar betis di tangga menuju gereja, menahan kerumunan massa yang memenuhi empat penjuru taman. Sebagian besar massa adalah pemuda, tetapi jumlah perempuan dan lanjut usia pun cukup banyak. Media memperkirakan paling tidak 5.000 orang ada di sana saat itu.”

“Kelompok ultras dari seluruh Italia terwakili. Saya melihat kelompok dari Juventus, Taranto, Avellino, Milan Varese, Genoa, Cremonese dan Livorno serta banyak kelompok lain yang tidak saya kenali syalnya, dari klub mana. Saya menyeruak kerumunan orang hingga mencapai pagar di mana terdapat tumpukan tinggi bunga dan syal dari berbagai klub, dilatarbelakangi tilisan KEADILAN BAGI SANDRI. Di antara syal Lazio saya melihat syal AS Roma, Udinese, Palermo, Messina dan banyak lagi. Karangan bunga tidak hanya berasal dari teman-teman Sandri dan pendukung Lazio, tetapi juga dari Antonello Venditti, pimpinan ultras AS Roma. Juga dari petinggi ultras Napoli, Sampdoria dan Torino. Bahkan saya juga melihat karangan bunga berwarna ungu-hitam dari Fossa dei Leoni, yang telah bubar dua tahun silam.”

“Sementara di dalam gereja sudah penuh-sesak oleh keluarga, kerabat dan wakil pemerintah Italia. Ada Walter Veltroni dan Luciano Spaletti. Dan, Francesco Totti yang menangis ketika dia memeluk ibunda Sandri. Seluruh skuad tim Lazio dan tim-tim usia mudanya lengkap hadir di sana, termasuk pelatih Delio Rossi.”

“Kami yang berada di luar tentu saja tidak dapat melihat atau mendengar upacara di dalam gereja. Semuanya hening. Hanya sesekali terdengar tepuk tangan ketika tim Lazio dan keluarga mereka tiba. Saya berdiri di dekat para tokoh Irriducibili. Satu diantaranya memiliki tattoo di leher kanannya: ACAB (All Cops Are Bastards = Semua Polisi Anak Haram). Saya berpindah tempat, sementara hujan makin deras. Tepukan tangan berhenti ketika pemain Lazio terakhir masuk gereja. Kami berdiri dalam keheningan. Di depan saya ada seorang perempuan berusia limapuluhan, seorang diri, memakai syal Lazio sambil meremas-remas saputangan di tangannya.”

“Orang-orang di belakang saya berbincang perlahan dengan bahasa Italia yang bukan beraksen Roma. Pimpinan Banda Noantri tiba dan berdiskusi sejenak dengan pimpinan Irriducibili. Ketua mereka dipenuhi tattoo bergambar salib, simbol-simbol fasisme dan simbol Lazio. Waktu terus berjalan, makin banyak orang berdatangan. Saya berusaha mengabaikan bahwa mantel saya yang tidak tahan air sebentar lagi akan tak berguna.”

“Lewat pukul 13.00 misa berakhir dan terdengar gemuruh tepuk tangan ketika peti jenazah Sandri diusung keluar. Ultras dari berbagai klub kompak meneriakkan “Gabriele uno di noi” atau “Gabriele, kamu bagian dari kami.” Sebagian massa mulai menyanyikan sebuah lagu. Awalnya tak bergitu jelas, tetapi akhirnya ternyata itu lagi “Vola Lazio Vola”. Sebelumnya saya hanya mendengar sayup-sayup lagu itu ketika berada di Curva Sud dan tenggelam dalam sorakan giallorossi di sekitar saya.”

“Fans Lazio di seberang taman mulai bernyanyi dengan suara keras, dan perempuan tua di depan saya tadi, ikut bernyanyi dengan suara bergetar. Saputangannya kini telah benar-benar lusuh. Hujan bertambah deras, perempuan di depan saya akhirnya tak kuat lagi menahan emosinya dan menangis terisak-isak di tengah demuruhnya nyanyian "Lazio sul prato verde vola, Lazio tu non sarai mai sola, Vola un'aquila nel cielo, piu in alto sempre volerà". Untunglah saya membawa tissue, karena saya juga mulai menangis.”


“Usai bernyanyi, terdengar beberapa yel "Gabriele sempre con noi" lagi. Beberapa orang sempat melantunkan nyanyian anti-polisi tetapi segera dicegah temannya. Diawali beberapa orang, akhirnya kami semua menyanyikan lagu kebangsaan Italia. Para pimpinan Irriducibili dan Banda Noantri tegap memberikan hormat ala Romawi dengan tangan kanan terangkat ketika peti jenazah Sandri melewati mereka, tanpa yel, tanpa slogan, hanya sebuah penghormatan.”

“Massa mulai mencair dan meninggalkan tempat di bawah lebatnya hujan. Para pemain Lazio menaiki bus tepat di depan saya dengan hening, dan duduk di dalamnya. Mereka menghapus uap air dari jendela dan memandangi kami dengan pandangan kosong. Pemain Lazio Mundingayi bahkan menempelkan wajahnya di jendela bus. Kami memandang mereka kembali. Seorang anak kecil melambai kepada mereka dan bertepuk tangan. Massa meninggalkan tempat sama heningnya dengan saat mereka datang. Pulang ke rumah masing-masing. Sekitar seribu orang ultras Lazio menuju Olimpico, berkumpul di bawah Curva Nord dan menyanyikan lagu-lagu Lazio.”

“Mentalitas ultras memang beragam. Sebagian baik, sebagian buruk. Tetapi hari ini saya belajar tentang suatu hal. Hari ini mereka berdatangan dari berbagai kota: Milan, Torino, Udinese,Napoli, Taronto, Palermo; dengan biaya mereka sendiri, berdiri dua jam di bawah derasnya hujan, untuk datang memberikan penghormatan terakhir kepada seorang yang tidak mereka kenal. Mereka bertepuk tangan untuk keluarga dan kerabat yang berduka, menyanyikan sebuah nama yang bahkan tidak dikenalnya seminggu yang lalu. Dan mereka membubarkan diri dalam damai. Anda mungkin menganggap perbuatan mereka ini tidak masuk akal, tetapi masihkah Anda menganggap bahwa semua ultras itu  identik dengan kekerasan?”


Pengadilan memutuskan Luigi Spaccarotella bersalah dan menghukumnya 6 tahun penjara. Ketika Spaccarotella naik banding, pengadilan Italia justru menambah hukumannya menjadi 9 tahun 4 bulan, karena menemukan adanya unsur kesengajaan.

Sandri telah tiada di usianya yang belia. Tetapi Sandri adalah monumen ultras di Italia, tidak hanya bagi Lazio. Curva Nord Olimpico kini bernama Curva Nord Gabriele Sandri dan sebuah bangku dengan foto Sandri sengaja dibuat di sana. Selalu dikosongkan sebagai penghormatan terhadap dirinya. Karena Sandri akan selalu berada di hati semua ultras di Italia. Sebuah yayasan bernama Fondazione Gabriele Sandri didirikan dan tetap beraktivitas hingga hari ini.


SEORANG ULTRAS TIDAK MEMILIKI NAMA


Seorang Ultras sejati tidak memiliki nama -hanya teman dekat yang mengetahuinya-. Seorang Ultra sejati tidak dikenal oleh orang lain, kepalanya selalu tertutup oleh “hood”, hidung dan mulutnya selalu ditutup oleh syal. Seorang Ultra sejati tidak mengikuti mode dan hal teranyar lainnya. Saat seorang Ultra berjalan dikeramaian, kendati tanpa logo supporter, dia akan mudah dikenal orang lain.

Seorang Ultra sejati hanya menyerang jika diserang dan akan menolong jika diperlukan. Seorang Ultra sejati tidak akan berhenti kendati tiba di rumah dan membuka syalnya. Ultra Sejati akan selalu bertarung tujuh hari dalam seminggu.

Ultra tua akan memimpin dan memberikan contoh kepada yang muda. Ultra muda harus memberikan rasa hormat kepada yang tua. Ultra muda akan merasa bangga jika berdiri berdampingan dengan yang tua, mereka akan belajar dari kritikan si tua. Yang muda akan bersemangat jika mendapat jabatan tangan erat dari yang tua.

Saat orang normal melihat tingkah laku Ultra, mereka tidak akan mengerti, tetapi Ultra memang tidak ingin dimengerti atau menjelaskan arti keberadaan mereka. Setiap Ultra berbeda; ada yang mengenakan logo supporter atau tim ada juga yang tidak pernah menggunakan keduanya. Ada yang bepergian dalam sebuah kelompok ada yang pergi secara individu.

Kendati berbeda, satu hal yang membuat mereka bersatu adalah kecintaan terhadap klub, hasrat mereka untuk berdiri selama 90 menit tidak peduli hujan atau dingin. Mereka bersatu dan menghangatkan diri dengan teriakan keras dan serempak, bersatu kendati tertidur setengah mabuk di sebuah kereta atau bis yang membawa mereka pada pertandingan tandang, bersatu karena konvoi di pusat kota tim lawan, bersatu karena berbagi sedikit makanan setelah berjam-jam menahan rasa lapar, bersatu karena berbagi sebatang rokok, bersatu karena berpenampilan sama, bersatu karena idealisme, bersatu karena memiliki MENTALITAS yang sama.

Semua hal diatas menyatukan kami sekaligus menjauhkan kami dari bagian dunia yang lain; dari orang tua yang khawatir, dari sepupu yang bodoh, dari teman sekolah atau rekan kerja, dari guru atau bos yang tidak memiliki rasa toleransi. Ultras tidak pernah melakukan vandalisme atau kekerasan tanpa alasan. Ini hanya cara untuk bertahan dari hidup yang sudah terkena krisis masalah sosial, acara televisi yang bodoh, disko yang terus menerus menarik anak muda dan terpenting tindakan represif yang tidak dapat dibenarkan (polisi dan federasi).

Menjadi Ultra adalah seperti ini dan masih banyak lainnya seperti emosi dan hasrat yang tidak dapat dijelaskan kepada orang lain yang tidak mau mengerti atau kepada orang yang biasa memutar kepala dan melanjutkan hidup di balik kaca, orang yang tidak memilik cukup NYALI untuk menghancurkan kaca dan memasuki DUNIA KITA!

ULTRAS ITALIA

ULTRAS ITALIA


Ultras tidak bisa lepas dari tanah italy, Ultras pertama dalam sejarah Italia adalah sekelompok pendukung klub sepakbola berusia sekitar 15 sampai 25 tahun yang jelas dapat dibedakan dengan model klasik pendukung sepakbola dewasa, yang lahir sekitar akhir tahun 1960an dan awal 1970an. Mereka biasanya berkumpul di bagian paling murah di stadion, biasanya para ultras italia berkumpul di tribun belakang gawang yang lebih di kenal dengan CURVA(curva nord, curva sud) dan biasanya mereka mendapat keringanan tiket oleh klub, dan dengan segera mereka menjadi sebuah karakter unik dari keseluruhan sepak bola Italia. Mereka sangat dapat dibedakan dengan penonton biasa yaitu mereka selalu berkumpul membentuk kelompok- kelompok dengan banner berukuran raksasa bertuliskan nama kelompok (berdasarkan tempat terbentuknya atau kesamaan orientasi politik) dan memakai pakaian- pakaian militer (hardcore ultra) dengan aksesoris wajibnya yaitu parka, sepatu boot Dr. Marten, pakaian perang dan jaket yang dikalungi syal dengan warna klub yang mereka cintai. (sangat kontras dengan penampilan supporter di Indonesia).

Para ultras biasanya mewakili suatu ideologi, politik, fasisme dan dengan latar belakang yang lain, begitu juga di italia Peran para ultra dalam perubahan sebuah klub di Italia lebih besar perannya dibanding para hooligan di tanah Inggris.

Ultras pertama dan tertua di Italia adalah Milan's Fossa dei Leoni ( Sarang Singa ) yang didirikan pada tahun 1968, yang kemudian menetap di bagian paling murah di stadion San Siro di sektor 17. Kemudian pada tahun 1969 muncullah Ultras Sampdoria (kelompok pertama yang menyebut diri mereka ultras), diikuti oleh "The Boys" dari Inter Milan. Dan pada tahun 1970an banyak bermunculan ratusan kelompok-kelompok kecil di stadion yang kemudian membentuk kelompok besar seperti Yellow-blue Brigade Verona, Viola Club Viesseux Fiorentina ( 1971), Naples Ultras (1972), Red and Black Brigade Milan, Griffin's Den Genoa dan Granata Ultras Torino (1973), For Ever Ultras Bologna (1975), Juventus Fighters (1975), Black and Blue Brigade Atalanta (1976), Eagle's Supporters Lazio dan Commando Ultras Curva Sud (CUCS) Roma (1977). 

Kode etik ultras

Di sepakbola Italia, Ultras dikenal sebagai Tuhan didalam stadion, merekalah yang berkuasa. Biasa bertempat di tribun di belakang garis gawang, dimana di tribun tersebut memiliki kekhususan, yaitu polisi tidak diperkenankan berada di tribun ini atau muncul masalah. Seperti kita lihat pada partai derby, Roma - Lazio, dimana ultras dapat membatalkan pertandingan dengan isu ada anak kecil yang ditembak polisi.

Di Italian ultras ini, mereka memiliki tradisi, yaitu pertempuran antar grup ultras, artinya sah-sah aja kalo salah satu grup ultras berkelahi dengan grup ultras lainnya, dan sebagai bukti kemenangan, maka bendera dari grup ultras yang kalah akan diambil oleh sang pemenang. Kode etik dari ultras lainnya ialah, seburuk apapun para tifosi ini mengalami kekejaman dari tifosi lainnya, maka tidak diperkenankan untuk lapor polisi.

Hal inilah yang membuat salah satu grup ultras Milan yaitu Fossa Dei Leoni (FDL) dinyatakan bubar, karena menjelang pertandingan Milan melawan Juventus beberapa musim yang lalu, seorang tifosi garis keras Milan melambaikan bendera Viking Juve.

Dalam tradisi ultras Italia, apabila ada grup tifosi lain yang memiliki flags/banner dari musuhnya, maka berarti bahwa grup tifosi tersebut berhasil menaklukan atau mempermalukan musuhnya tersebut, tetapi ada syaratnya, bendera tersebut bukan diperoleh dari dicuri, atau diambil tanpa sepengetahuan grup ultras lawan tersebut melainkan harus dari open fight.

Masalah timbul, karena tifosi FDL ini memperoleh bendera Viking JUVE bukan dari open fight, melainkan dari menemukan di jalan. Viking JUVE tidak terima dengan hal tersebut, sehingga mereka mencegat tifosi Milan di Eindhoven setelah partai liga Champions PSV - Milan, mereka mencegat dengan menggunakan senjata tajam dan berhasil merebut bendera FdL.
(Viking Juve)
(Banner FDL yang di rebut Viking)

Timbul masalah, karena hal tersebut, FDL lapor polisi, padahal dalam kode etik italian ultras, polisi adalah hal yang di haramkan alias A.C.A.B (All Cops Are Bastar*s). FdL semakin mendapat tekanan dari grup tifo Milan yang lainnya, seperti Brigate Rossonere, sehingga grup tifosi tertua ini (196 menyatakan mundur dan membentuk grup baru yaitu Guerrieri Ultras. Banyak yang bilang, bubarnya FdL juga disebabkan konflik internal, selama ini FdL lah yang berada di belakang aksi koreografi tifosi Milan, BRN ingin mengambil peran itu.



(Banner IRRIDUCIBILI Inter-Lazio yang di rebut Viking JUVE)

Kekerasan juga menjadi hal yang buruk dalam sejarah ultras di Italia, tetapi diluar itu, mereka juga memiliki kode etik tersendiri dalam kehidupannya. Biasanya grup ultras akan bertempat di suatu tribun di stadion di Italia, dan dipimpin oleh seseorang yang disebut CapoTifoso. Masalah timbul apabila ada seseorang (diluar grup ultras) yang telah memiliki tiket resmi, dan sudah antri untuk masuk ke tribun yang kebetulan ditempati ultras dan mendapat tempat yang nyaman, tetapi ketika grup ultras masuk, maka orang tersebut akan diusir dari tempat duduknya, memang tidak fair. Seorang CapoTifoso juga memiliki kekuatan tersendiri di tribun tersebut, apabila ia memerintahkan untuk melempar benda-benda kelapangan, maka akan dilemparkan benda tersebut ke lapangan, tetapi apabila ia melarang, maka tidak ada satupun tifosi yang berani melawannya.
Kekerasan Di Sepak Bola Italia

Budaya kekerasan dalam dunia sepakbola sering diidentikkan dengan kerusuhan antar suporter maupun perkelahian antar pemain dan ofisial tim. Pandangan tersebut tidaklah salah hanya saja tidak selamanya sepakbola itu selalu penuh dengan kekerasan meskipun sepakbola itu sendiri adalah olahraga yang keras.

Kekerasan dalam sepakbola tersebut merupakan evolusi dari budaya Ultras dan hooliganisme yang saat ini telah berkembang ke seluruh penjuru dunia. Hooliganisme tidak hanya mendorong kekerasan di dalam stadion tetapi juga menyebarkan benih-benih kekerasan di luar stadion. SEPAK BOLA Italia menyimpan cerita kelam. Di sana sering kali muncul kericuhan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Berikut kekerasan yang pernah terjadi.

Oktober 1979
Seorang fans Lazio bernama Vincenzo Paparelli meninggal sesudah dilempari bom api dalam derby melawan AS Roma.

Maret 1982
Tifosi AS Roma, Andrea Vitone tewas karena Romanisti lainnya membakar kereta yang membawa supporter mereka. Romanisiti melakukannya karena kesal timnya kalah dengan Bologna.

Oktober 1988
Pecah kerusuhan antara suporter Inter Milan dengan Ascoli. Nazzareno Filippini, seorang suporter Ascoli tewas delapan hari sesudah bentrokan karena luka-luka yang dideritanya sewaktu diserang pendukung Inter.

Januari 1995
Sebelum pertandingan melawan AC Milan, seorang fans Genoa, Vincenzo Spagnolo tewas tertusuk pisau.

Juni 2001
Partai Catania vs Messina membawa korban. Seorang penonton bernama Antonio Curro mati akibat terkena ledakan bom rakitan.

September 2003
Napoli terpaksa memainkan lima pertandingan tanpa penonton akibat perkelahian yang muncul di lapangan dalam pertandingan melawan Avellino. Dalam insiden itu 30 polisi cedera dan seorang fans bernama Sergio Ercolano tewas terjatuh dari tribun.

Maret 2004
Derby della Capitale lagi-lagi memicu kerusuhan. Suporter Roma turun ke lapangan untuk menemui kapten Francesco Totti agar menghentikan pertandingan. Hal itu dilakukan karena ada rumor polisi membunuh seorang suporter.

September 2004
Pertandingan antara Roma dan Dynamo Kyiv di Liga Champions ditunda karena wasit Anders Frisk terluka akibat terkena korek api yang dilemparkan suporter dari tribun.

April 2005
Kiper Milan, Nelson Dida cedera setelah dilempati kembang api oleh suporter Inter di dalam pertandingan perempat final Liga Champions 2004-05. Pertandingan itu akhirnya dihentikan.

Februari 2007
Seorang polisi bernama Filippo Raciti terbunuh dalam kericuhan antarsuporter Palermo dan Catania

November 2007
Gabriele Sandri, seorang fans Lazio meninggal karena terkena peluru nyasar yang ditembakkan polisi untuk meredakan kerusuhan antara suporter Lazio dengan Juventus.


As Roma Vs Juventus




Ultras juga tidak cuma bertempur dengan ultras klub rival tapi juga kadang sesama ultras yang mendukung satu klub tapi beda kelompok kadang juga saling bentrok satu sama lain. Bahkan saling bunuh membunuh, itu yang terjadi pada tahun 2007 an sesama ultras milan juga bentrok, antara anggota Brigade rossonere dengan anggota Comando tigre penyebabnya gara-gara rebutan pengaruh di curva sud, sama halnya di juventus, sesama ultras juga ribut, antara Tradizione (ex Fighter) + viking dengan Drughi yang menyebabkan capo Drughi Dino Rivoli tewas pada saat itu tahun 2006 after friendly match lawan alessandria, alasannya juga rebutan pengaruh di curva scirea(curva sud), tapi sekarang masalah rebutan pengaruh di curva scirea sudah tidak ada seiring kepindahan ex ultras curva nord ( viking, tradizione,nucleo(N.A.B), gruppo marche 93) ke curva sud bahkan pas lawan milan mereka bikin koreografi bersama bentrok ultras sesama club di luar italia juga ada ultras PSG boulougne boys dengan tigris mystic penyebabnya perbedaan ras, boulougne boys anggotanya asli orang kulit putih dan anti imigran kalo tigris mystic kebanyakan imigran dari afrika utara (maroko, tunisia, aljazair) yang berkulit hitam bahkan bentrokan antara ultras PSG sempat jadi isu nasional hingga sampe pemerintah perancis membubarkan kedua ultras tersebut.

Terkadang kalau di fikir memang seperti aneh ataupun memalukan tapi di dalam dunia ultras dan kefanitakan kejadian seperti itu adalah hal yang biasa dan jika sesama keluarga ada sebuah perbedaan prinsip dan ideologi itu hal yang tidak memalukakan dan tidak pula aneh, walaupun ultras terkadang mengesampingkan akal sehat karna terkadang terpengaruh alkohol atau pun obat-obatan.

Begitulah fenomena ultras di italia, terlepas dari segala bentuk kontrofersialanya para ultras terkadang sangat kreatif dengan koreografinya.
FOOTBALL WITHOUT ULTRAS IS NOTING..!!

SUPPORTER INDONESIA RASA ULTRAS

 ULTRAS DI INDONESIA


Suporter di Indonesia sedang berada dalam periode bertumbuh. Dalam lima tahun terakhir ini, muncul kelompok-kelompok suporter terorganisir. Suatu fenomena yang berdampak amat positif bagi perkembangan sepak bola nasional. Kehadiran kelompok suporter ini sedikit banyak merubah gaya dukung dan pola perilaku penonton di lapangan. Secara keseluruhan, berdampak pada industri sepak bola nasional yang lebih semarak dan berwarna.

Tak bisa dipungkiri aksi-aksi kreatif kelompok suporter di Indonesia ini mengadopsi gaya suporter luar negeri. Meski di kemudian hari, terjadi proses kreatif dengan lebih banyak menampilkan produk budaya lokal. Suporter luar negeri yang menginspirasi itu bisa dari Barras Bravas (Argentina/Amerika Latin),Roligan (Denmark), Tartan Army (Skotlandia) dan tentunya Italian Ultras!

Kentalnya budaya ultras bisa dilihat dengan teramat jelas dari atraksi kelompok suporter kita di lapangan. Mulai dari menempati sisi tribun tertentu meski tidak selalu di belakang gawang. Namun yang konsisten di sekitar belakang gawang diantaranya yaitu ,Utras Persija,Orange Street Boys(Persija),Slemania (PSS Sleman), dan Brajamusti (PSIM Jogjakarta), sedangkan beberapa kelompok suporter lainnya lebih suka di tribun tengah menghadap kamera! Menggunakan istilah asing (Ultras) terkadang tidak juga salah asal mengerti dan paham mengenai istilah tersebut. Ultras yang dipakai lebih ke mentalitasnya.. nilai2nya… Saat supporter berdiri 90 menit dan meneriakkan lagu2 pembangkit semangat (bukan lagu2 cacian kepada suatu kelompok), tak peduli hasil yang dicapai,itu juga merupakan bagian dari nilai2 ultras… saat anda melakukan koreografi2 memukau, itu bagian dari nilai2 ultras..ataupun saat kami bertempur dengan supporter , itu juga bagian dari nilai2 ultras..yang jelas Ultras tidak akan menyerang jika tidak diserang terlebih dahulu,tidak akan menolong jika tidak diperlukan

Tapi nilai2 itu, pastilah tercampur dengan budaya kita sendiri… terkadang  beberapa komunitas di dalam suporter Persija juga menggunakan istilah ultras, walaupun saat mengaku ultras, mereka dengan bangganya berfoto2 menunjukkan identitas mereka, ya mungkin itu pemahaman akan arti ultras oleh mereka…(narsisme)… Di Luar Negri (Italy,Inggris,German,dll) seorang ULTRAS mungkin tidak punya KTA/ID Card atau bahkan kelompok tersebut sampai memiliki AD/ART karena mereka sangat paham arti kata Ultras, alasan mereka datang ke stadion benar-benar dari Hati dan Jiwanya..bukan juga karena UANG…sedangkan di INDONESIA UANG adalah alat detok sempurna untuk sebuah loyalitas..Orang bisa pindah agama,keyakinan,Klub,bahkan Partai.. Bagi saya AGAMA bisa dipeluk oleh ribuan bahkan jutaan umat,TETAPI SEORANG  manusia hanya bisa PELUK SATU AGAMA, apabila ada yg percaya selain TUHANnya maka disebut Musyrik Bahkan KAFIR…Team Sepakbola yang saya dukung  Bisa didukung oleh puluhan ribu supporter,TETAPI SEORANG SUPPORTER HANYA BISA MEMILIH SATU TEAM SEPAKBOLA SAJA…Tetapi jika mendukung lebih dari satu  team,maka bisa disebut orang yang tidak memiliki komitmen atau bahkan bisa dicap Pengkhianat…maka d iIndonesia muncul slogan seperti SATU JAKARTA SATU (PERSIJA) ,SALAM SATU JIWA(AREMA) dll. Pendukung suatu klub tak harus wadah tunggal (seperti Orde Baru). Apalagi saat ini, mereka (kelompok suporter) melengkapi dengan AD/ART bahkan disahkan dengan akte notaris segala. Ujung-ujungnya adalah konflik kepentingan dan potensi dimanfaatkan elit politik. Contoh di SRIWIJAYA FC supporter Singamania dan Beladas, di Persiba ada PFC dan Balistik, di PERSIJAP ada Banaspati dan JETMEN,dll

Nah kalo ultras di Indonesia itu yang hebat, terlalu rapi. Kalo diluar negeri mereka hanya merupakan komunitas ataupun kelompok. Kalo disini, kebanyakan merupakan organisasi yang memiliki AD/ART. Parahnya masyarakat awam tidak bisa membedakan yang mana julukan suporter dengan nama kelompok suporter. Seperti contoh The Jakmania. Yang merupakan organisasi suporter pendukung Persija, tapi sering diartikan sebagai julukan untuk menyebut seluruh suporter Persija. Padahal gak semua suporter Persija adalah anggota The Jakmania. Dan memang tidak semua klub punya julukan bagi suporter mereka.

Dirijen seperti Yuli Sumpil, yang sohor itu adalah manifestasi seorang CapoTifoso. Yuli memiliki wibawa seorang CapoTifoso, apabila ia memerintahkan untuk melakukan suatu gerakan maka akan dipatuhi oleh suporter termasuk (seandainya) memerintahkan mengintimidasi pemain lawan dengan lemparan benda-benda, tetapi apabila ia melarang, maka tidak ada satu pun suporter yang berani melawannya. Walaupun ada yang berpendapat seorang Yuli Sumpil tidak pantas disebut demikian Karena dia “hanya” memimpin Aremania. Beda dengan capo tifoso di curva sud atau nord di Itali misalnya. Yang tidak hanya memimpin kelompoknya, tapi memimpin seluruh kelompok yang ada di curva itu, untuk membentuk koreo yang indah..

Belum lagi kostum yang terkoordinir, dan bentangan spanduk yang di pinggir-pinggir lapangan adalah rasa ultras pada suporter Indonesia. Sayangnya, prestasi tim nasional dan klub-klubnya tak semanis prestasi Squadra Azurri dan wakil-wakil Serie A di Eropa. Pahit getir sepak bola Indonesia terutama sekali saat menilik kelakuan oknum pengurus dibawah kepemimpinan Yang “Terhormat” Nurdin Halid!

Seorang Ultras sejati tidak memiliki nama -hanya teman dekat yang mengetahuinya-. Seorang Ultras sejati tidak dikenal oleh orang lain, kepalanya selalu tertutup oleh “hood”, hidung dan mulutnya selalu ditutup oleh syal. Seorang Ultras sejati tidak mengikuti mode dan hal teranyar lainnya. Saat seorang Ultra berjalan dikeramaian, kendati tanpa logo supporter, dia akan mudah dikenal orang lain.

Seorang Ultra sejati hanya menyerang jika diserang dan akan menolong jika diperlukan. Seorang Ultra sejati tidak akan berhenti kendati tiba di rumah dan membuka syalnya. Ultra Sejati akan selalu bertarung tujuh hari dalam seminggu.
Ultra tua akan memimpin dan memberikan contoh kepada yang muda. Ultra muda harus memberikan rasa hormat kepada yang tua. Ultra muda akan merasa bangga jika berdiri berdampingan dengan yang tua, mereka akan belajar dari kritikan si tua. Yang muda akan bersemangat jika mendapat jabatan tangan erat dari yang tua.
Saat orang normal melihat tingkah laku Ultra, mereka tidak akan mengerti, tetapi Ultra memang tidak ingin dimengerti atau menjelaskan arti keberadaan mereka. Setiap Ultra berbeda; ada yang mengenakan logo supporter atau tim ada juga yang tidak pernah menggunakan keduanya. Ada yang bepergian dalam sebuah kelompok ada yang pergi secara individu.
Kendati berbeda, satu hal yang membuat mereka bersatu adalah kecintaan terhadap klub, hasrat mereka untuk berdiri selama 90 menit tidak peduli hujan atau dingin. Mereka bersatu dan menghangatkan diri dengan teriakan keras dan serempak, bersatu kendati tertidur setengah mabuk di sebuah kereta atau bis yang membawa mereka pada pertandingan tandang, bersatu karena konvoi di pusat kota tim lawan, bersatu karena berbagi sedikit makanan setelah berjam-jam menahan rasa lapar, bersatu karena berbagi sebatang rokok, bersatu karena berpenampilan sama, bersatu karena idealisme, bersatu karena memiliki MENTALITAS yang sama.
Semua hal diatas menyatukan kami sekaligus menjauhkan kami dari bagian dunia yang lain; dari orang tua yang khawatir, dari sepupu yang bodoh, dari teman sekolah atau rekan kerja, dari guru atau bos yang tidak memiliki rasa toleransi. Ultras tidak pernah melakukan vandalisme atau kekerasan tanpa alasan. Ini hanya cara untuk bertahan dari hidup yang sudah terkena krisis masalah sosial, acara televisi yang bodoh,  disko yang terus menerus menarik anak muda dan terpenting tindakan represif  yang tidak dapat dibenarkan (polisi dan federasi).

Menjadi Ultra adalah seperti ini dan masih banyak lainnya seperti emosi dan hasrat yang tidak dapat dijelaskan kepada orang lain yang tidak mau mengerti atau kepada orang yang biasa memutar kepala dan melanjutkan hidup di balik kaca, orang yang tidak memilik cukup NYALI untuk menghancurkan kaca dan memasuki DUNIA KITA!
Ultras.. Sebuah kata yang akhir2 ini sangat sering disebut oleh media2 di tanah air seiring dengan banyaknya tindakkan hooliganisme yang dilakukan beberapa kelompok ultras di Italia. Sangat lucu sekali membaca beberapa comment di media yang menyebutkan bahwa ultras memiliki arti ‘garis keras’ yang selalu di indentikkan dengan hooliganisme. Tapi apa mau dikata, begitulah media, begitulah jurnalis, mereka hanya bisa menulis apa yang bisa mereka lihat tanpa harus benar2 mengerti dan benar2 memahami objek yang mereka jadikan berita.
Perlu sedikit diluruskan mengenai makna kata ‘ultras’ sendiri. Ultras bukan nama, Ultras adalah istilah.. sama dengan kata hooligan yang juga merupakan sebuah istilah. Kata ultras sendiri berasal dari suku kata Ultra yang dalam bentuk kata sifat berarti ekstrim dan dalam kata benda berarti ekstrimis penambahan huruf s sebagai penunjuk bentuk jamak (kelompok). Kata ekstrim sendiri berarti ‘yang ter-‘. ‘yang paling’. ‘melebihi yang lain’, atau ‘lebih dari biasa’. Bila dihubungkan dengan konteks supporter bisa dikatakan bahwa ultras berarti kelompok supporter yang memiliki fanatisme, rasa cinta, dan dukungan yang lebih dari supporter biasa. Sedangkan Hooligan sendiri adalah istilah yang berarti ‘perusuh’ atau ‘suka berbuat onar’.
Ciri2 kelompok supporter Ultras adalah Selalu bernyanyi mendukung kesebelasan kebanggaanya, mendukung tim mereka baik dikandang sendiri maupun dikandang lawan, dan tak pernah meninggalkan tim kebanggannya baik saat jaya maupun saat terpuruk. Dari ciri2 kelompok ultras
sendiri bisa dikatakan bahwa hampir semua kelompok supporter di Indonesia adalah Ultras. Slemania itu ultras, The Jak itu ultras, Aremania itu ultras. klompok supporter lainnya juga ultras. Walau mereka tidak ada embel2 kata ultras dalam organisasi mereka tapi istilah ultras tetap mereka sandang karena mereka semua memiliki karakter dan mentalitas ultras. Meski demikian, ada banyak juga kelompok supporter (termasuk kami sendiri) yang menggunakan kata ultras sebagai nama kelompok mereka.
Jadi bisa disimpulkan bahwa Ultras dan Hooligans adalah dua istilah yang berbeda dengan pengertian yang berbeda pula. Hampir semua hooligans adalah Ultras, tapi tidak semua Ultras adalah hooligans..!!
HOOLIGANS  adalah fans sepakbola yang brutal ketika tim idolanya kalah bertanding. Hooligan merupakan stereotif supporter sepakbola dari Inggris, namun akhi-akhir ini menjadi fenomena dunia termasuk negara Indonesia sendiri. Sebagian besar dari hooligan adalah para backpacker yang berpengalaman dalam melakukan sebuah perjalanan. Tidak sedikit dari mereka yang sering keluar-masuk penjara karena sering terlibat dalam sebuah bentrokan. Mereka jarang menggunakan pakaian yang sama dengan tim pujaannya agar tidak terdeksi kehadiran mereka oleh pihak aparat. Meski demikian, keunggulan dari hooligan ini mereka paling anti menggunakan senjata dalam melakukan sebuah duel, karena menurut mereka itu hanyalah sebuah cara yang dilakukan oleh sekelompok banci.

Diantara Supporter Persija ada juga  yang memang lahir dari komunitas hardmods, bootbois, skinhead, rudeboys, casuals, dll.. dan membentuk suatu kelompok yang disebut Persija FIRM (Tiger Boys) seperti di Inggris, namun disisi lain mereka membakar flare dan membuat syal komunitas, ya mungkin itu kreatifitas mereka, karena mengikuti suatu kultur, lagipula tidak berarti harus mengikuti semua pakem bakunya.

SEJARAH BERDIRINYA ULTRAS

Kali ini saya akan mempost tentang sejarah ultras. Agar agan - agan yang cantik dan tampan :* tidak buta akan sejarah?. yaudah daripada kelamaan bacot sana - bacot sini gak ada arti  :) mending langsung baca deh.

SEJARAH ULTRAS



Ultras diambil dari bahasa latin yang mengandung artian ‘di luar kebiasaan’. Kalangan ultras tidak pernah berhenti menyanyi mendengungkan yel-yel lagu kebangsaan tim mereka selama pertandingan berlangsung. Mereka juga rela berdiri sepanjang pertandingan berlangsung (karena negara-negara yang terkenal dengan ultras nya seperti Argentina dan Italia, menyediakan tribun berdiri di dalam salah satu sudut stadion mereka). Selain itu pun para ultras paling senang menyalakan kembang api atau petasan di dalam stadion karena hal itu didorong untuk mencari perhatian, bahwa mereka hadir di dalam kerumunan manusia di dalam stadion.

“As an ultra I identify myself with a particular way of life. We are different from ordinary supporters because of our enthusiasm and excitement. This means, obviously, rejoicing and suffering much more acutely than everybody else “.

Nukilan kalimat dari seorang anggota Brigate Rossonere, salah satu ultras AC Milan, membantu kita untuk mengenali fenomena ultras. Ultras bukanlah sekadar kumpulan suporter (tifosi) biasa melainkan kelompok suporter fanatik nan militan yang mengidentifikasikan secara sungguh-sungguh dengan segenap hasrat dan melibatkan dengan amat dalam sisi emosionalnya pada klub yang mereka dukung.

Ultras mempelopori suporter yang amat terorganisir (highly organized) dengan gaya dukung ‘teatrikal’ yang kemudian menjalar ke negara-negara lain. Model tersebut sekarang telah begitu mendominasi di Prancis, dan bisa dibilang telah memberi pengaruh pada suporter Denmark ‘Roligans’, beberapa kelompok suporter tim nasional Belanda dan bahkan suporter Skotlandia ‘Tartan Army’

Model tersebut masyhur karena menampilkan pertunjukan-pertunjukan spektakuler meliputi kostum yang terkoordinir, kibaran aneka bendera, spanduk & panji raksasa, pertunjukan bom asap warna-warni, nyala kembang api (flares) dan bahkan sinar laser serta koor lagu dan nyanyian hasil koreografi, dipimpin oleh seorang CapoTifoso yang menggunakan megaphones untuk memandu selama jalannya pertandingan.

Dalam tradisi calcio, ultras adalah “baron” dalam stadion. Mereka menempati dan menguasai salah satu sisi tribun stadion, biasanya di belakang gawang, yang kemudian lazim dikenal dengan sebutan curva. Ultras tersebut menempati salah satu curva itu, baik nord (utara) atau sud (selatan), secara konsisten hingga bertahun-tahun kemudian. Utras dari klub-klub yang berbeda ditempatkan pada curva yang saling berseberangan. Selain itu, berlaku aturan main yang unik yaitu polisi tidak diperkenankan berada di kedua sisi curva itu.

Kelompok Ultras yang pertama lahir adalah (Alm.) Fossa dei Leoni, salah satu kelompok suporter klub AC Milan, pada tahun 1968. Setahun kemudian pendukung klub sekota sekaligus rival, Internazionale Milan, membuat tandingan yaitu Inter Club Fossati yang kemudian berubah nama menjadi Boys S.A.N (Squadre d’Azione Nerazzurra). Fenomena ultras sempat surut dan muncul lagi untuk menginspirasi dunia dengan aksi-aksi megahnya pada pertengahan tahun 1980-an.

Fenomena ultras sendiri diilhami dari demontrasi-demontrasi yang dilakukan anak-anak muda pada saat ketidakpastian politik melanda Italia di akhir 1960-an. Alhasil, sejatinya ultras adalah simpati politik dan representasi ideologis. Setiap ultra memiliki basis ideologi dan aliran politik yang beragam, meski mereka mendukung klub yang sama. Ultras memiliki andil “melestarikan” paham-paham tua seperti facism, dankomunism socialism
.

Mayoritas ketegangan antar suporter disebabkan oleh perbedaan pilihan ideologis daripada perbedaan klub kesayangan. Untungnya, dalam tradisi Ultras di Italia terdapat kode etik yang namanya Ultras codex. Salah satu fungsi kode etik itu “mengatur” pertempuran antar ultras tersebut bisa berlangsung lebih fair dan “berbudaya”. Salah satu etika itu adalah dalam hal bukti kemenangan, maka bendera dariultras yang kalah akan diambil oleh ultras pemenang. Kode etik lainnya ialah, seburuk apapun paratifosi itu mengalami kekejaman dari tifosi lainnya, maka tidak diperkenankan untuk lapor polisi.

Dewasa ini, ultras kerap dipandang sebagai lanjutan atau warisan dari periode ketidakpastian dan kekerasan politik 1960-an hingga 1970-an. Berbagai kesamaan pada tindak tanduk mereka disebut sebagai bukti dari sangkut paut ini. Kesamaan-kesamaan itu tampak pada nyanyian lagu - yang umumnya digubah dari lagu–lagu komunis tradisional - lambaian bendera dan panji, kesetiaan sepenuh hati pada kelompok dan perubahan sekutu dengan ultras lainnya, dan, tentunya, keikutsertaan dalam kekacauan dan kekerasan baik antara mereka sendiri dan melawan polisi!

Bentrok dengan polisi menjadi salah satu tabiat asli ultras. Bagi ultras, polisi adalah hal yang diharamkan alias A.C.A.B (All Cops Are Bastar*s). Sebulan sebelum Sandri terbunuh, muncul klaim dari pihak polisi yang menyatakan bahwa tak kurang dari 268 kelompok ultra dengan aspirasi politik, semuanya memiliki semangat kebencian pada polisi. Selain itu, masih menurut polisi, mayoritas kelompok tersebut berhubungan dengan gerakan ekstrim kanan yang fasis.

Tak hanya polisi, manajemen klub, staff pelatih dan bahkan pemain juga pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari ultras. Beberapa kelompok Ultras dalam menjamin dukungannya (terutama dalam pertandingan tandang), memaksa klub untuk memberi jatah tiket gratis, keuntungan perjalanan, dan bahkan hak atas merchandise. Ketegangan dengan pihak klub kerap berujung boikot dukungan pertandingan di kandang.

Namun sebenarnya ultras tidak seseram yang dibayangkan. Bahkan dibandingkan dengan Hools (FIRM) di inggris. Karena sebenarnya ultras menjauhi yang namanya keributan. (walaupun ada yg suka nyari masalah).Dan tidak semua kelompok ultras berafiliasi politik. memang ada yang kanan, kiri, merah, dsb…Tapi yang tidak bermain politik juga ada.

Pelatih atau manajer yang mundur (bukan karena dipecat manajemen klub) biasanya adalah produk dari tekanan ultras. Dari pihak pemain, Christian “Bobo” Vieri pernah mengalami teror fisik dari ultrasInter, termasuk dirusaknya salah satu properti bisnisnya, karena dianggap berkurang kadar loyalitasnya pada tim.

Dengan kemegahan dan kesuramannya ultras adalah fenomena khas Italia, representasi masyarakat Italia, dan identitas calcio. Seperti halnya kualitas Lega Serie A yang menjadi kiblat dunia sepak bola, seperti sistem catenaccio yang mengilhami banyak pelatih di dunia, maka aksi ultras di stadion pun menjadi rujukan dan referensi bagi suporter-suporter negara lain, termasuk kelompok suporter di Indonesia.